Nusantara Pusat Awal Peradaban Dunia
Peradaban awal dunia itu di Nusantara
Stephen Oppenheimer
Hardback : Weidenfeld & Nicholson Ltd,
London, 1998
Paperback : Phoenix Books, 1999
(xvi, 560 hal. Illustrasi.)
“ASIA TENGGARA, TANAH ASAL PERDABAN KUNO DUNIA?”
Stephen Oppenheimer
Stephen Oppenheimer , Pakar Genetik berpendapat Asia Tenggara sebagai tempat cikal bakal peradaban kuno berasal. Munculnya peradaban di Mesopotamia, Lembah Sungai Indus, dan Cina justru dipicu oleh kedatangan para migran dari Asia Tenggara. Oppenheimer. Didukung oleh data yang diramu dari hasil kajian arkeologi, etnografi, linguistik, geologi, maupun genetika.
Rekonstruksi Oppenheimer diawali dari saat berakhirnya puncak Jaman Es (Last Glacial Maximum) sekitar 20.000 tahun yang lalu. Ketika itu, muka air laut masih sekitar 150 m di bawah muka air laut sekarang. Kepulauan Indonesia bagian barat masih Bergabung dengan benua Asia menjadi dataran luas yang dikenal sebagai Paparan Sunda. Namun ketika bumi memanas, timbunan es yang ada di kutub meleleh dan mengakibatkan banjir besar yang melanda dataran rendah di berbagai penjuru dunia.
Data geologi dan oseanografi mencatat setidaknya ada tiga banjir besar yang terjadi pada sekitar 14.000, 11.000, dan 8,000 tahun lalu. Banjir besar yang terakhir bahkan menaikkan muka air laut hingga 5-10 meter lebih tinggi dari yang sekarang. Yang paling parah dilanda banjir adalah Paparan Sunda dan pantai Cina Selatan. Paparan Sunda malah menjadi pulau-pulau yang terpisah, antara lain Kalimantan, Jawa, Bali, dan Sumatera. Padahal, waktu itu kawasan ini sudah cukup padat dihuni manusia prasejarah yang berpenghidupan sebagai petani dan nelayan. Bagi Oppenheimer, kisah ‘Banjir Nuh’ atau ‘Benua Atlantis yang hilang’ tidak lain adalah rekaman budaya yang mengabadikan fenomena alam dahsyat ini. Di kawasan Asia Tenggara, kisah atau legenda seperti ini juga masih tersebar luas di antara masyarakat tradisional.
Ketika banjir melanda, terjadi diaspora para penghuni kawasan ini. Mereka menyebar ke Barat hingga India dan Mesopotamia, ke Timur lalu menghuni Kepulauan Pasifik, dan ke Utara sampai ke Cina dan Jepang bahkan terus menyeberang ke Amerika lewat Selat Bering. Menurut Oppenheimer, diaspora ini cocok dengan rekonstruksi linguistik terbaru versi Johanna Nichols yang menyatakan bahwa Asia Tenggara sebagai pusat persebaran bahasa-bahasa dunia setelah akhir zaman Es. Ini tentu saja amat bertentangan dengan teori yang umum dianut, yang meletakkan tempat asal bahasa-bahasa Asia Timur (Tibeto-Burma, Tai-Kadai, Austroasiatik dan Austronesia) di timur Himalaya, tempat sungai-sungai besar di daratan Asia berhulu. Namun, Oppenheimer juga merujuk sintesis dari empat pakar arkeologi yang meyakini bahwa kawasan ex- Paparan Sunda adalah pusat diaspora manusia pada akhir zaman Ais.
Petunjuk genetika pun membuktikan bahwa penduduk Asia Tenggara sudah menghuni kawasan ini paling tidak sejak akhir Kala Pleistosen, dan tidak banyak mendapat aliran gen baru dari daratan Asia. Oppenheimer yakin, ‘Orang Asli’ yang kini bermukim di Semenanjung Malaya adalah sisa penduduk asli Paparan Sunda yang ‘tetap tinggal di rumah’ ketika keluarga lainnya migrasi. Artinya, migrasi terjadi dari kawasan Kepulauan Asia Tenggara ke Daratan Asia, dan bukan sebaliknya. Jadi, migrasi penutur bahasa Austronesia pun bukan dari Cina Selatan-Taiwan ke Kepulauan Filipina-Indonesia lalu ke Pasifik dan Madagaskar seperti yang disintesiskan oleh ahli bahasa Robert Blust maupun ahli arkeologi Peter Bellwood. Justru dari Kepulauan Indonesia-lah, para penutur Austronesia berasal.
Bagi Oppenheimer, orang Sumeria yang menjadi peletak dasar peradaban di Mesopotamia adalah orang Asia Tenggara. Kesamaan benda-benda Neolitik yang muncul di Asia Tenggara dan Mesopotamia sekitar 7.500 tahun lalu menjadi salah satu bukti. Ciri fisik orang Sumeria yang bermuka lebar (brachycepalis) dan wajah tipikal ‘orientalis’ patung-patung wanita Sumeria bisa jadi bukti lainnya. Malahan, tokoh legenda Uthnapishtim, yang dalam wiracarita Gilgamesh dan daftar raja-raja Sumeria disebut sebagai satu-satunya orang yang selamat dari banjir besar, sehingga dianggap prototipe ‘Nabi Nuh’, tidak lain adalah personifikasi migran dari Asia Tenggara. Dalam legenda Babilonia, kedatangan migran Asia Tenggara direkam dalam kisah tujuh orang bijak yang datang dari laut (Timur) membawa berbagai keterampilan dan pengetahuan baru. Kisah seperti ini juga terdapat di Hindukush (pusat peradaban Indus kuno) dan dimuat dalam Buku Kematian Mesir kuno. Sementara itu, dalam berbagai varian, legenda ini masih tersebar luas di Kepulauan Nusantara hingga Pasifik.
Oppenheimer tidak berhenti sampai di situ. Ia mengungkapkan bahwa kisah bertema penciptaan Adam-Hawa hingga sengketa Kaen-Habel ternyata tersebar luas di Asia dan Pasifik. Di New Zealand, orang Maori menyebut wanita pertama sebagai ‘Eevee’. Dalam berbagai mitos di kawasan ini, manusia pertama dikisahkan dibuat dari lempung merah. Kisah sengketa dua saudara kandung juga populer di Papua Nugini dengan tokoh bernama Kullabop dan Manup. Karena itu, Oppenheimer yakin kisah Kejadian Dunia (Genesis) aslinya berasal dari Asia Tenggara, sehingga ia menganggap Asia Tenggara sebagai ‘Taman Firdaus’ (Eden in the East).
Teori hiper-difusionisme pun disusun dari paralelisme data arkeologi, organisasi sosial, religi, dan ciri etnografi lain yang terdapat di berbagai penjuru dunia (Trigger, 1989). Kalau dalam cara meyakinkan pembacanya, karya Oppenheimer ini mirip dengan karya-karya Eric von Daniken, yang menganggap peradaban manusia di bumi ini sebagai hasil transfer iptek dari mahluk angkasa luar !
Seperti von Daniken, Oppenheimer juga menggunakan penggalan-penggalan data arkeologi yang diramu dengan beragam hasil kajian ilmiah bidang lainnya. Gaya penyajiannya yang ilmiah populer membuat buku ini enak dibaca. Karya seperti ini dikenal sebagai pseudo-archaeology.
Membaca buku Oppenheimer memang mengasyikkan, khususnya bagi mereka yang berwawasan ‘posmo’. Nuansa dekonstruksi yang kuat dalam buku ini bisa membuat mereka sulit berhenti membaca. Hampir di tiap bagian ada kontroversi, yang kemudian dipecahkan dengan cerdik.. Apalagi, data yang dipakai amat mutakhir, termasuk data paling baru yang dikumpulkan si penulis sendiri saat ia praktek sebagai dokter di desa-desa terpencil Asia Tenggara dan Papua New Guinea.
Eden in the East, the Drowned Continent of Southeast Asia
Stephen Oppenheimer
London, 1998
Paperback : Phoenix Books, 1999
(xvi, 560 hal. Illustrasi.)
“ASIA TENGGARA, TANAH ASAL PERDABAN KUNO DUNIA?”
Stephen Oppenheimer
Nenek moyang bangsa Nusantara, khususnya Pulau Jawa adalah pencipta kebudayaan dunia. Leluhur bangsa Nusantara (Indonesia) merupakan manusia-mansuia tangguh dan cerdas, pencipta peradaban dunia. Bahkan jauh sebelum tahun masehi, kerajaan nusantara adalah penguasa duapertiga wilayah bumi. India dulu hanyalah salah satu kadipaten dari kerajaan yang berpusat di pulau Jawa. Sumber dari peradaban dunia bisa dikatakan semuanya bermula dari Nusantara.
Semuanya memberikan kita gambaran bahwa nenek moyang bangsa Indonesia bukan orang-orang terbelakang. Kalau kemudian sejarah dunia saat ini tidak memposisikan peradaban nusantara sebagai sumber dari peradaban dunia, maka itu tidak lebih bagian dari kerja-kerja ilmuwan dari belahan dunia barat yang ingin mengingkari realitas.
Misalnya tentang cerita Mahabrata adalah cerita nyata yang sesungguhnya terjadi di Nusantara. Kerajaan Astina itu adalah kerajaan di Nusantara. Ini berarti tokoh-tokohnya yakni para Pandawa dan Kurawa bukanlah orang Hindustan di Tanah India, melainkan orang-orang Jawa!!
Keterlibatan kerajaan-kerajaan lainnya dalam perang Berathayudha adalah kerajaan-kerajaan kecil yang berada dibelahan dunia lainnya. Ini menegaskan bagaimana Kerajaan Nusantara adalah sebuah wilayah dengan kekuatan dan kekuasaan politik yang sangat besar karena bisa menyeret kerajaan lainnya untuk berperang.
Kehebatan nenek moyang kita juga ditunjukkan dengan keberadaan Candi Borobudur. Candi ini, kata teman ini, sudah ada jauh sebelum tahun masehi dikenal. Jadi anggapan ilmuwan yang menyatakan bahwa candi ini dibangun pada abad ke-8 masehi tidaklah benar.
Patung di dalam candi borobudur juga bukan Patung Budha melainkan patung Raja Saylendra yang kebetulan mencapai tahap perjalanan Bathin mirip dengan yang dialami Sidhartha Gautama. Diceritakan bahwa Raja Saylendra membuat Candi Borobudur setelah mencapai perjalanan sampai nirwana. Salah satu yang diingat Saylendra adalah suara musik di alam nirwana yang begitu melekat dipikirannya. Lalu Saylendra berusaha menemukan/mencipatakan alat yang bisa mengeluarkan suara seperti yang diingatnya. Dari pencarian ini dicipatakanlah gambelan yang dijawa dikenal dengan gambelan laras selendro.
Jadi nenek moyang bangsa Indonesia adalah mereka-mereka yang menjadi pencetus peradaban dunia. Nusantara adalah pusat dari peradaban dan asal muasal dari semua peradaban di planet bumi ini. Benar atau tidak, percaya atau tidak, kembali kepada diri kita. Anggaplah semua cerita kawan ini benar, maka sangat pantas bagi kita untuk bangga kemudian menguatkan rasa percaya diri kita bahwa kita adalah manusia-manusia unggul. Kalau kemudian kita menjadi terpuruk seperti saat ini, maka itu semua karena ulah kita yang melupakan asal-usul kita. Siapa sesungguhnya kita dan darimana kita berasal.
Konsepsi dari Nusantara sendiri adalah sebuah kesatuan wilayah yang dipimpin oleh suatu pemerintahan [kerajaan] secara absolut. Jadi dalam Nusantara terdapat satu Kerajaan Induk dengan puluhan bahkan ratusan kerajaan yang menginduk [bedakan menginduk dengan jajahan]. Dalam sebuah periodesasi jaman, Kerajaan induk itu mempunyai seorang pimpinan [raja] dengan kewenangannya yang sangat absolut, sehingga kerajaan-kerajaan yang menginduk sangat hormat dan loyal kepada Kerajaan Induk dan satu sama lain antara kerajaan yang menginduk akan saling bersatu dalam menghadapi ancaman keamanan dari negara-negara di luar wilayah Nusantara, sehingga tak pelak kesatuan dari Nusantara sangat disegani, dihormati dan ditakuti oleh negara-negara lain pada jaman dahulu.
Kerajaan Induk biasanya dipimpin oleh seorang raja dengan gelar Sang Maha Prabu atau Sang Maha Raja, atau pada periode jaman sebelumnya dengan Sang Rakai atau Sang Mapanji, serta dibantu oleh Patih [sekarang setara dengan Perdana Menteri] yang bergelar Sang Maha Patih.
Sedangkan kerajaan-kerajaan yang menginduk, istilah Kerajaan juga seringkali disebut dengan Kadipaten yang dipimpin oleh raja yang bergelar Kanjeng Prabu Adipati atau Kanjeng Ratu Adipati [apabila dipimpin oleh seorang raja wanita], dan Patih-nya bergelar Sang Patih.
Pimpinan Kerajaan Induk tidaklah selamanya turun-temurun, tidak tergantung dari besar-kecilnya wilayah, tapi dilihat dari sosok pimpinannya yang mempunyai kharisma sangat tinggi, kecakapannya dalam memimpin negara dan keberaniannya dalam mengawal Nusantara, sehingga negara-negara lain [kerajaan yang menginduk/Kadipaten] akan dengan suka rela menginduk di bawah sang pemimpin, apalagi sang pemimpin biasanya dianggap mewarisi karisma dari pada dewa, dalam pewayangan-pun beberapa nama raja disebutkan sebagai Dewa sing ngejawantah.
Nusantara, atau Indonesia kini [dari bahasa melayu dan pengembangan penamaan wilayah nusantara pada jaman masa kolonial], dahulu dikenal dunia sebagai bangsa yang besar dan terhormat. Orang luar bilang Nusantara adalah “jamrud khatulistiwa” karena di samping Negara kita ini kaya akan hasil bumi juga merupakan Negara yang luar biasa megah dan indah.
Bahkan di dalam pewayangan, Nusantara ini dulu diberikan istilah berbahasa kawi/Jawa kuno, yaitu :
“Negara kang panjang punjung pasir wukir, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharja”
Artinya dalam bahasa Indonesia kurang lebih yaitu :
“Luas berwibawa yang terdiri atas daratan dan pegunungan, subur makmur, rapi tentram, damai dan sejahtera“
Sehingga tidak sedikit negara-negara yang dengan sukarela bergabung di bawah naungan bangsa kita.
Hal ini tentu saja tidak lepas peranan dari leluhur-leluhur kita yang beradat budaya dan berakhlak tinggi. Di samping bisa mengatur kondisi Negara sedemikian makmur, leluhur kita juga bahkan dapat mengetahui kejadian yang akan terjadi di masa depan dan menuliskannya ke dalam karya sastra. Hal ini bertujuan sebagai panduan atau bekal anak cucunya nanti supaya lebih berhati-hati menjalani roda kehidupan.
(disunting dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar