Rabu, 24 Desember 2014

ADAKAH KAITAN TABUT YANG HILANG PUSAKA YAHUDI ZIONIS,DENGAN BUDAYA TABOT DI SUMATERA?
 
 
 
 
Disadari atau tidak kemampuan manusia untuk berbicara atau memproduksi bahasa memainkan peranan yang besar dalam kehidupannya sejak lahir hingga ke liang lahat. Segala aktivitas yang dilakukan manusia secara sadar dalam kehidupannya sejak lahir hingga ke liang lahat tersebut menciptakan budaya. Bahasa dan budaya tak dapat dipisahkan. Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi tetapi juga medium untuk melakukan tindakan dan cerminan budaya penuturnya (Oktavianus, 2006). Sebagai simbol, bahasa dijadikan sebagai alat untuk memahami budaya baik yang sekarang ada maupun yang telah diawetkan, dan yang akan datang (dengan cara mewariskannya), tanpa bahasa tak akan ada budaya (Djajasudarma di dalam Kato, 2012). Selanjutnya, Putra Yadnya (dalam Kato, 2012) mengatakan bahwa bahasa bisa dipandang sebagai suatu sumber daya untuk menyingkap misteri budaya, mulai dari perilaku berbahasa, identitas, dan kehidupan penutur, pendayagunaan dan pemberdayaan bahasa sampai dengan pengembangan dan pelestarian nilai-nilai budaya.
Frasa Tabot Bengkulu dan Tabuik Pariaman merupakan contoh dari manifestasi bahasa. Masing-masing terdiri dari dua kata yaitu tabot ’sejenis upacara tradisional’ dan Bengkulu ’nama kota di Provinsi Bengkulu’ serta tabuik ’sejenis upacara tradisional’ dan Pariaman ’nama kota di Provinsi Sumatera Barat’. Terkandung berbagai fungsi, makna, nilai dan ideologi di dalam bentuknya sebagai simbol lingual. Selain bentuk kebahasaan frasa Tabot Bengkulu dan Tabuik Padang yang menjadi fokus penelitian dan manifestasi budaya yang harus dipertahankan, atribut serta kegiatan lainnya yang berhubungan dengan atau mendukung upacara tersebut yang notabene memiliki simbol lingual juga harus menjadi perhatian.

         Studi Komparatif Frasa Tabot Bengkulu dan Tabuik Pariaman
 
Secara leksikal, frasa Tabot Bengkulu dan Tabuik Pariaman masing-masing terdiri dari dua kata yaitu tabot ’sejenis upacara tradisional’ dan Bengkulu ’nama kota di Provinsi Bengkulu’ serta tabuik ’sejenis upacara tradisional’ dan Pariaman ’nama kota di Provinsi Sumatera Barat’. Kata tabuik [tabui?] merupakan variasi lain dari kata tabot [tabot]. Terdapat sesuatu yang mencurigakan pada dua data fonologis tersebut. Dengan menggunakan konsep metode komparatif, kedua data tersebut dibandingkan (Sudaryanto, 1988).
Nida (1949) menjelaskan bahwa penelitian linguistik komparatif merupakan penelitian yang menganalisa data dari dua atau lebih dialek dalam satu bahasa atau dari dua atau lebih bahasa yang berbeda. Pada penelitian ini data diambil dari frasa Tabot Bengkulu dan Tabuik Pariaman serta beberapa istilah atau referen lain yang digunakan di dalam kedua upacara tradisional tersebut.
Secara etimologi kata tabot dan tabuik berasal dari bahasa Arab yaitu tabut. Tabut adalah kotak kayu atau peti yang berfungsi untuk menyimpan kitab Taurat, kitab suci Bani Israil, seperti yang dinyatakan di dalam Al-Quran, kitab suci agama Islam. Bani Israil pada masa itu percaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan bila tabut ini muncul dan berada di tangan pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang.
Secara leksikal, frasa Tabot Bengkulu dan Tabuik Pariaman masing-masing terdiri dari dua kata yaitu tabot ’sejenis upacara tradisional’ dan Bengkulu ’nama kota di Provinsi Bengkulu’ serta tabuik ’sejenis upacara tradisional’ dan Pariaman ’nama kota di Provinsi Sumatera Barat’. Kata tabuik [tabui?] merupakan variasi lain dari kata tabot [tabot]. Kata tabot (awalnya *tabut) pertama kali dipopulerkan oleh para tukang yang membangun Benteng Marlborough (1718-1719) di Bengkulu, yang dipimpin oleh Imam Senggolo alias Syekh Burhanuddin. Mereka menetap dan memperkenalkan upacara *tabut kepada masyarakat Bengkulu. Upacara ini semakin meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil. Namun dalam perkembangannya, kegiatan *tabut menghilang di banyak tempat. Hingga pada akhirnya hanya terdapat di dua tempat, yaitu di Bengkulu dan Pariaman. Bahasa Minang yang digunakan masyarakat Pariaman tidak mengenal bunyi [-ut] pada akhir kata. Sehingga */tabut/ menjadi /tabuik/, atau /takut/ menjadi /takuik/ dan lain sebagainya. Dan ketika upacara *tabut diperkenalkan pada masyarakat Pariaman terjadilah penyesuaian bunyi *[tabut] menjadi [tabui?]. Secara fonologis, terjadi proses disimilasi tak langsung pada bunyi stop dimana fonem akhir /t/ berubah menjadi fonem /k/ pada kata */tabut/ menjadi /tabuik/. Dan karena perubahan bunyi juga dapat terjadi disebabkan oleh bertambahnya kecepatan bicara maka bunyi *[tabut] dengan prinsip penyederhanaan atau mengurangi kesulitan ujaran berubahlah menjadi [tabot]. Meskipun banyak perubahan bunyi yang terjadi karena proses penyederhanaan atau mengurangi kesulitan ujaran, namun tidak ada peneliti yang berhasil menetapkan korelasi antara perubahan bunyi dan gejala sebelumnya (Bloomfield, 1995:373). Dan dikarenakan tidak ada pula perbedaan makna dari kedua data fonologis ini, maka kata tabot dan tabuik dikatakan sebagai dua varian yang bebas, merujuk pada referen yang sama yaitu sejenis upacara tradisional.
Secara kontekstual, Tabot Bengkulu adalah upacara tradisional masyarakat Bengkuludan Tabuik Pariaman adalah upacara tradisional masyarakat Pariaman yang keduanya berbentuk festival budaya dengan puncak acara berupa pembuangan bangunan kertas setinggi lebih kurang 8 meter yang diberi ornamen menarik yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharam setiap tahunnya (Kalender Islam) untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M)

. org/wiki/Tabot.dan.Tabuik).by: nopriansahad
 
 
TABOT, TABUIK, TABUT BULAN MUHARAM
Tabuik (Tabut) adalah perayaan lokal dalam rangka memperingati Asyura, gugurnya Imam Husain, cucu Muhammad, yang dilakukan oleh masyarakat Minangkabau di daerah pantai Sumatera Barat, khususnya di Kota Pariaman. Festival ini termasuk menampilkan kembali Pertempuran Karbala, dan memainkan drum tassa dan dhol. Tabuik merupakan istilah untuk usungan jenazah yang dibawa selama prosesi upacara tersebut. Walaupun awal mulanya merupakan upacara Syi'ah, akan tetapi penduduk terbanyak di Pariaman dan daerah lain yang melakukan upacara serupa, kebanyakan penganut Sunni. Di Bengkulu dikenal pula dengan nama Tabot. Pembaca yang budiman, tulisan ini diambil dari beberapa tulisan di internet semoga dapat disikapi dengan bijaksana (Bambang Purnomo).
Upacara melabuhkan tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831 Upacara ini diperkenalkan di daerah ini oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat.
Tabot adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang tentang kisah kepahlawanan dan kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dalam peperangan dengan pasukan Ubaidillah bin Zaid di padang Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).
Pada awalnya inti dari upacara Tabot adalah untuk mengenang upaya pemimpin Syi'ah dan kaumnya mengumpulkan potongan tubuh Husein, mengarak dan memakamkannya di Padang Karbala. Istilah Tabot berasal dari kata Arab Tabut yang secara harafiah berarti "kotak kayu" atau "peti".
Dalam al-Quran kata Tabot dikenal sebagai sebuah peti yang berisikan kitab Taurat. Bani Israil di masa itu percaya bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan bila Tabot ini muncul dan berada di tangan pemimpin mereka. Sebaliknya mereka akan mendapatkan malapetaka bila benda itu hilang.
(Disunting dari

Dirangkum dan disarikan dari berbagai sumber.Terimakasih.Wassalam.wr wb. 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar